Peran kampus dalam membangun karakter mahasiswa di era digital
Saat ini, kita hidup dalam era digital yang bergerak sangat cepat — yakni zaman di mana segala akses informasi, interaksi, hingga pembelajaran dapat dilakukan secara daring. Bagi seorang mahasiswa, kampus bukan hanya sekadar tempat memperoleh ilmu pengetahuan, tetapi juga arena pembentukan karakter — termasuk integritas, tanggung jawab sosial, literasi digital, dan kecakapan etis. Dalam konteks ini, kampus memiliki peran strategis.
Pertama, kampus harus menjadi ruang pengembangan kesadaran etis dan karakter. Era digital menghadirkan tantangan baru: misalnya hoaks, plagiarisme, penyalahgunaan media sosial, hingga ketergantungan teknologi yang mengikis nilai-nilai kemanusiaan. Penelitian menunjukkan bahwa edukasi karakter dalam era digital menjadi sangat penting. Sebagai contoh, dalam studi “Pendidikan Karakter dalam Era Digital: Bagaimana Teknologi Mempengaruhi Pembentukan Moral dan Etika” ditemukan bahwa media sosial memiliki pengaruh erat terhadap pembentukan karakter siswa, dan bila tidak diarahkan dengan baik dapat menyebabkan penurunan moral dan etika. Kampus dapat mengambil inisiatif menyusun kurikulum atau program pembinaan yang memasukkan literasi digital dan etika teknologi sebagai bagian dari pembentukan karakter.
Kedua, kampus harus berfungsi sebagai wadah sinergi antara teknologi dan nilai-nilai humanistik. Era digital memang membawa banyak sekali kemudahan — akses informasi tak terbatas, jaringan global, learning-online, dan sebagainya — namun jika kampus hanya mengejar aspek teknis saja (misalnya “siapa yang cepat menguasai alat digital”), tanpa dibarengi pembentukan karakter (misalnya tanggung jawab, empati, integritas), maka mahasiswa bisa tumbuh menjadi sarjana yang “mahir teknologi” tapi rapuh etika. Dalam penelitian “Student Character Building in the Era of Digital Transformation”, ditemukan bahwa mahasiswa menyadari bahwa transformasi digital memiliki dampak positif terhadap pembentukan karakter, namun mereka juga merasa dukungan dari institusi pendidikan masih kurang. Oleh karena itu, kampus perlu secara proaktif mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke dalam setiap proses pembelajaran digital-nya.
Ketiga, kampus mesti menjadi agent pembentukan literasi digital dan kebijaksanaan bermedia. Mahasiswa pada era sekarang bukan hanya pembelajar konvensional, tetapi pengguna aktif media digital — media sosial, forum daring, platform kolaborasi, bahkan kecerdasan buatan. Kampus memiliki tanggung jawab untuk menumbuhkan kemampuan mahasiswa dalam memilah informasi, kritis terhadap konten digital, dan menggunakan teknologi dengan etika (digital ethics). Sebuah artikel menemukan bahwa pendidikan warga negara (civic education) dalam era digital punya peran krusial dalam membekali generasi muda dengan nilai-nilai nasional, literasi digital dan etika digital. Dalam konteks kampus, maka pelatihan literasi digital, workshop etika media, mentoring penggunaan teknologi yang bertanggung jawab bisa menjadi bagian nyata.
Keempat, kampus sebagai komunitas pembentukan karakter global-lokal. Karakter mahasiswa di era digital sebaiknya tidak hanya berbasis nasional atau lokal saja, tetapi juga punya kesadaran global: toleransi, kolaborasi lintas budaya, sains terbuka, inovasi sosial. Namun, kampus juga jangan lupa akar nilai lokal: budaya, kearifan lokal, nilai Pancasila (untuk Indonesia) bisa menjadi landasan karakter yang kokoh ketika teknologi dan digitalisasi menggeliat. Dalam tulisan “Membangun Pendidikan Karakter di Era Digital” dikatakan bahwa proses pendidikan karakter harus dilakukan secara simultan, partisipatif, melibatkan banyak pihak, humanis berdasarkan nilai-nilai bangsa dan kearifan lokal. Kampus dapat mengorganisasi kegiatan kolaboratif yang menggabungkan teknopreneurship, budaya lokal, kepedulian sosial, hingga literasi global.
Kelima, kampus perlu memfasilitasi refleksi dan pembiasaan karakter. Karakter tak terbentuk hanya lewat ceramah teori; ia terbentuk lewat kebiasaan sehari-hari, lingkungan kampus yang mendukung karakter tersebut, dan refleksi atas pengalaman digital yang dijalani mahasiswa. Misalnya, kampus bisa menyediakan ruang kegiatan ekstrakurikuler yang menumbuhkan kepedulian sosial, integritas akademik, penggunaan media sosial yang sehat, serta membentuk komunitas peer-support. Dari penelitian “The Role of Teachers in Developing Student Character in the Digital Age” disebutkan bahwa peran pengajar (dan institusi pendidikan) sangat penting dalam membimbing mahasiswa agar tidak sekadar menjadi pengguna teknologi, tetapi menjadi manusia bertanggung jawab.
Namun tentu saja, ada tantangan serius. Kampus seringkali terbentur dengan infrastruktur digital yang belum merata, budaya organisasi yang belum cukup memprioritaskan karakter, tekanan akademik yang membuat mahasiswa “fokus hanya pada nilai dan prestasi” tanpa cukup ruang refleksi karakter, serta lingkungan digital eksternal (media sosial, dunia kerja, peer group) yang cepat memengaruhi pola pikir mahasiswa. Studi “Pentingnya Pendidikan Karakter di Era Digital untuk Masa Depan” menyebut bahwa tantangan dalam pengintegrasian teknologi dan karakter antara lain pengawasan penggunaan teknologi yang belum memadai serta penggunaan teknologi yang tidak bertanggung jawab.
Sebagai mahasiswa, saya percaya bahwa kampus idealnya menjadi mitra aktif dalam perjalanan pembentukan karakter kita — bukan hanya sebagai konsumen fasilitas teknologi, melainkan sebagai manusia yang tumbuh berkarakter, bermoral, dan memiliki literasi digital tinggi. Mahasiswa pun perlu berperan secara aktif: memilih kampus yang menyadari pentingnya karakter, mengajak teman-teman berdiskusi mengenai etika digital, memanfaatkan lingkungan kampus untuk refleksi dan kolaborasi bermakna, serta berani membentuk kebiasaan baik di era digital ini
Dengan lembut saya menegaskan bahwa di era digital, kampus memegang tongkat penting dalam membimbing mahasiswa menjadi manusia lengkap — teknologis sekaligus berkarakter. Mari kita, sebagai bagian dari komunitas kampus, menjadikan teknologi sebagai alat untuk menumbuhkan karakter — bukan alat yang justru merusaknya. Semoga kampus-kampus Indonesia semakin menyadari dan menjalankan peran mulia ini.
Oleh : Ainun Barokah 202420481 (Manajemen pendidikan Islam,fakultas tarbiyah,institut agama Islam Hasan Jufri Bawean)
