Menggagas Kepemimpinan Berjiwa Tauhid di Dunia Pendidikan
Menggagas Kepemimpinan Berjiwa Tauhid di Dunia Pendidikan
Di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi, pendidikan sering kali dihadapkan pada dilema: antara tuntutan kemajuan dan keutuhan nilai-nilai spiritual. Dalam situasi seperti ini, muncul pertanyaan yang mendasar: ke manakah arah kepemimpinan pendidikan kita akan berlabuh? Di sinilah pentingnya menggagas kepemimpinan berjiwa tauhid, sebuah paradigma kepemimpinan yang tidak hanya berorientasi pada hasil, tetapi juga pada makna, nilai, dan keberkahan.
Kepemimpinan berjiwa tauhid menempatkan Allah SWT sebagai pusat kesadaran dan sumber nilai dalam setiap keputusan dan tindakan seorang pemimpin. Tauhid bukan sekadar konsep teologis, melainkan landasan moral yang menuntun perilaku kepemimpinan agar senantiasa berpijak pada kejujuran, amanah, dan tanggung jawab. Pemimpin yang berjiwa tauhid tidak memimpin karena ambisi, tetapi karena amanah; tidak mencari pujian, tetapi keberkahan; tidak menuntut dihormati, tetapi mengabdikan diri untuk menebar manfaat.
Menurut Mujamil Qomar (2007) dalam Manajemen Pendidikan Islam, pemimpin pendidikan Islam idealnya harus berorientasi pada nilai-nilai ketauhidan, sebab dari sanalah muncul kesadaran spiritual yang melahirkan integritas dan keikhlasan dalam bekerja. Kepemimpinan seperti ini melahirkan budaya organisasi yang bersih dari kepentingan pribadi dan menumbuhkan semangat kolektif untuk memajukan lembaga pendidikan secara holistik baik secara intelektual maupun moral.
Kepemimpinan tauhidi juga sejalan dengan konsep kepemimpinan transformasional yang dikemukakan oleh James MacGregor Burns (1978), yakni kepemimpinan yang mampu menginspirasi dan mentransformasikan nilai-nilai pengikutnya. Dalam konteks pendidikan Islam, transformasi itu tidak hanya menuju kemajuan akademik, tetapi juga ke arah pembentukan karakter dan spiritualitas peserta didik.
Lebih jauh, Wahjosumidjo (2010) menegaskan bahwa pemimpin pendidikan harus menjadi role model—teladan yang mampu menggerakkan hati dan pikiran seluruh warga lembaga. Dalam kerangka Islam, teladan itu termanifestasi dalam sifat-sifat kenabian: shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fathanah (cerdas). Pemimpin yang meneladani empat sifat tersebut akan memimpin dengan cinta, bukan kuasa; dengan hati, bukan ego.
Namun, menggagas kepemimpinan berjiwa tauhid tidaklah mudah. Dunia pendidikan kini menuntut kemampuan adaptif terhadap teknologi, perubahan sosial, dan dinamika generasi muda. Maka, pemimpin tauhidi harus pula bersifat visioner, mampu membaca zaman tanpa kehilangan arah spiritualnya. Ia mengelola inovasi dengan hikmah, membangun jaringan dengan etika, dan menanamkan nilai-nilai Islam tanpa dogmatisme.
Sebagai mahasiswa, saya percaya bahwa masa depan pendidikan Islam akan cerah apabila lahir generasi pemimpin yang menjadikan tauhid sebagai kompas dalam berpikir dan bertindak. Kepemimpinan berjiwa tauhid bukan hanya tentang bagaimana memimpin orang lain, tetapi juga bagaimana memimpin diri sendiri menuju kesadaran akan Tuhan.
Ketika setiap keputusan pendidikan berpangkal pada nilai ilahiah, maka pendidikan tidak lagi sekadar mencetak manusia pintar, melainkan manusia yang sadar akan tujuan hidupnya: beribadah, berilmu, dan membawa kemaslahatan bagi sesama. Di situlah cahaya kepemimpinan sejati menemukan maknanya — bukan dalam kekuasaan, tetapi dalam pengabdian yang tulus.
Oleh: Nia Agustin 202420474 (Manajemen Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah,Institut Agama Islam Hasan Jufri Bawean)
