Senioritas Berkedok Tradisi


 Di banyak kampus di Indonesia, tradisi menjadi identitas yang membanggakan. Ia hadir dalam bentuk kegiatan pengkaderan, orientasi mahasiswa baru, hingga ritual tertentu yang dianggap sakral. Namun di balik semangat kebersamaan itu, tidak jarang tradisi berubah wujud menjadi alat penindasan yang halus — bahkan sering disebut sebagai “senioritas berkedok tradisi”.

Fenomena ini muncul ketika nilai “penghormatan pada senior” berubah menjadi tuntutan absolut. Mahasiswa baru dituntut untuk tunduk tanpa kritik, menghafal tanpa memahami, dan mematuhi tanpa dialog. Padahal, sebagaimana dijelaskan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek, 2022) dalam Pedoman Kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB), kegiatan orientasi mahasiswa seharusnya “menumbuhkan rasa tanggung jawab, empati, dan integritas, bukan menimbulkan rasa takut atau tekanan.”


Ironinya, beberapa kalangan masih menganggap bahwa kerasnya proses pembentukan mental adalah bagian dari tradisi kampus yang harus dijaga. Padahal, jika kita menengok pemikiran Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970), pendidikan sejati tidak pernah tumbuh dari relasi kuasa yang menindas, melainkan dari dialog yang membebaskan. Tradisi seharusnya menjadi ruang berbagi nilai dan semangat, bukan alat menaklukkan yang muda oleh yang lebih dulu datang.

Senioritas yang tidak sehat melahirkan budaya diam. Mahasiswa takut bersuara karena khawatir dicap “tidak sopan” atau “tidak menghargai tradisi”. Padahal, kampus semestinya menjadi tempat berlatih berpikir kritis dan berani menyuarakan kebenaran. Nilai egalitarianisme yang menjadi dasar kehidupan akademik justru tergerus oleh ego hierarki sosial yang tidak relevan dengan semangat zaman.

Sudah saatnya mahasiswa meninjau ulang makna tradisi. Apakah tradisi itu masih mencerminkan nilai luhur kebersamaan dan solidaritas? Ataukah justru menjadi topeng bagi praktik kekuasaan yang membungkam? Sebagaimana pesan Ki Hajar Dewantara, pendidikan harus “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.” Menuntun, bukan menundukkan.

Tradisi yang sejati adalah yang memanusiakan. Ia menumbuhkan cinta, bukan ketakutan; membangun jembatan antar generasi, bukan tembok pemisah. Kampus yang sehat bukan diukur dari seberapa keras kaderisasi dijalankan, melainkan dari seberapa banyak hati yang terbangun untuk saling menghormati dan belajar bersama.

Kini, kita—para mahasiwa memiliki pilihan: apakah akan terus memelihara tradisi yang mengaburkan nurani, atau melahirkan tradisi baru yang menumbuhkan kemanusiaan? Sebab perubahan tidak akan lahir dari diam. Ia lahir dari keberanian untuk menafsir ulang makna “tradisi” dengan hati yang lebih dewasa dan pikiran yang lebih terbuka


Oleh : Fina Rahmatika (Mahasiswa MPI 3) 202420469