Produktif atau Tertekan? Dilema Senyap Mahasiswa di Bawah Bayang-Bayang "Budaya Hustle"

Senyum di Balik Kelelahan

Kita hidup di era di mana produktivitas diagungkan. Di kampus, "aktif" dan "berprestasi" seolah menjadi mata uang wajib, tolok ukur kesuksesan seorang mahasiswa. Kita melihat teman-teman yang IPK-nya cemerlang, memimpin organisasi, memenangkan lomba, bahkan merintis usaha. Senyum di foto profil mereka memancarkan energi tak terbatas. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: Apakah semua pencapaian itu lahir dari gairah yang tulus, ataukah ia adalah hasil dari tekanan batin yang nyaris tak tertahankan?

Inilah dilema senyap yang merayap di lorong-lorong kampus: Produktif atau Tertekan? Mahasiswa zaman sekarang terjebak dalam pusaran "budaya hustle" – tuntutan untuk terus bergerak, meraih, dan membuktikan diri—yang ironisnya, seringkali menjadi pemicu utama stres akademik, bahkan krisis kesehatan mental.

Tuntutan yang Mencekik dan Data yang Berbicara

1. Jerat Produktivitas Palsu (Fake Productivity)

Tekanan untuk "menyeimbangkan" akademik dan non-akademik adalah akar masalahnya. Sebagian besar mahasiswa baru, misalnya, merasa kewalahan dalam mengelola waktu antara mengejar IPK tinggi dan aktif berorganisasi, yang mana kedua hal tersebut sering dianggap wajib sebagai bekal dunia kerja (Eksam.id, 2024).

Kita seringkali mengutamakan kuantitas daripada kualitas. Kehadiran di banyak kepanitiaan, multitasking yang tak efektif, atau bahkan begadang hanya demi menyelesaikan tugas yang menumpuk—semua ini adalah manifestasi dari 'produktivitas palsu' (Jatim Times, 2024). Kita terlihat sibuk dan produktif, padahal energi kita terkuras habis untuk hal-hal yang tidak substansial. Akibatnya, fokus pada tujuan akademik sejati bergeser, dan yang tersisa hanyalah kelelahan kronis (burnout) (Kompasiana, 2025).

2. Tekanan Akademik dan Dampaknya pada Jiwa

Di sisi lain, tuntutan akademik itu sendiri sangatlah memuncak. Beban tugas yang berlebihan, harapan untuk meraih cumlaude, dan keinginan untuk lulus cepat menjadi dorongan kuat yang menghasilkan stres akademik (Journal ARIKESI, 2024; LPM Ekonomika FBE UII, 2025).

Fakta yang Mengerikan: Stres akademik yang berkepanjangan tidak hanya menurunkan konsentrasi dan prestasi belajar, tetapi juga berdampak nyata pada kondisi fisik dan mental: peningkatan kecemasan, depresi, gangguan tidur, hingga keluhan fisik seperti sakit kepala dan kelelahan (Krajan.id, 2025; Repository Stikes Hang Tuah Surabaya, 2020).

Tekanan ini semakin diperparah oleh media sosial yang menampilkan highlight pencapaian orang lain secara berlebihan. Perbandingan tak realistis ini memicu rasa tidak aman dan bersalah jika kita tidak terus-menerus "berprestasi" (Merdeka.com, 2025). Padahal, kesehatan mental adalah modal utama yang sering kali dikorbankan demi mengejar ilusi kesuksesan.

Mencari Keseimbangan yang Manusiawi

Sebagai mahasiswa, kita adalah agen perubahan (agent of change), yang seharusnya didorong untuk berpikir kritis dan tidak mudah terjebak dalam narasi yang ada (UMJ, 2024). Kita perlu mengakui bahwa keseimbangan adalah kunci utama, bukan salah satunya (Eksam.id, 2024).

Lantas, apa yang harus kita lakukan?

Menggeser Paradigma: Kita harus berani mendefinisikan ulang makna "produktif." Produktif sejati adalah ketika kita mampu menghasilkan karya yang bermakna tanpa mengorbankan kesejahteraan diri—bukan sekadar mencantumkan daftar panjang kegiatan di CV.

Menciptakan Sistem yang Berempati: Institusi pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menciptakan sistem yang lebih manusiawi, di mana mahasiswa tidak hanya dituntut untuk pintar, tetapi juga untuk sehat dan bahagia (LPM Ekonomika FBE UII, 2025). Perguruan tinggi harus berfokus pada kualitas pembelajaran, manajemen tugas yang rasional, dan penyediaan dukungan kesehatan mental yang memadai.

Memperkuat Kesadaran Diri: Mahasiswa perlu melatih manajemen waktu yang efektif dan yang terpenting, mengenal batas kemampuan diri (Eksam.id, 2024; Journal ARIKESI, 2024). Kita harus berani mengambil jeda (rest is productive) dan menolak aktivitas yang hanya menghabiskan energi tanpa memberikan dampak nyata.

Marilah kita hentikan perlombaan untuk selalu tampak sempurna. Mari kita rangkul perjalanan akademik dengan penuh kesadaran. Sebab, seorang mahasiswa tidak akan bisa memberi manfaat bagi sesamanya jika ia sendiri sedang hancur di dalam. Kita berhak produktif, tapi kita tidak pantas tertekan. Perubahan dimulai dari keberanian untuk menjadi realistis dan manusiawi.

oleh: Riyanti (mahasiswa mpi, fakultas tarbiyah, Institut agama Islam Hasan Jufri Bawean)